top of page

Di Dunia yang Sibuk Berpikir, Mengapa 'Merasa' Adalah Kunci untuk Hidup Seutuhnya


ree

| 1 September 2025

Pernahkah Anda berada di persimpangan jalan, di mana semua data dan analisis pro-kontra menunjuk ke satu arah, tetapi ada sesuatu di dalam diri Anda—sebuah bisikan halus, sebuah ‘rasa’—yang menarik Anda ke arah yang berlawanan?

Di zaman yang menuntut kita untuk selalu logis, produktif, dan efisien, ‘perasaan’ seringkali ditempatkan di kursi belakang. Ia dianggap sebagai gangguan, sesuatu yang tidak rasional dan harus dikendalikan. Kita diajari untuk "gunakan kepalamu, jangan pakai perasaan."

Tapi bagaimana jika kita salah selama ini? Bagaimana jika kemampuan untuk ‘merasa’ bukanlah sebuah kelemahan, melainkan kekuatan terbesar kita? Bagaimana jika ia adalah kompas yang kita abaikan demi peta yang dibuat oleh orang lain?


Selamat datang di hidupdenganrasa. Hari ini, kita akan menyelami pertanyaan fundamental: Kenapa merasa itu penting?


  1. Perasaan: Sistem Navigasi Kuno yang Lebih Canggih dari GPS


Jauh sebelum kita memiliki spreadsheet dan algoritma, nenek moyang kita bertahan hidup menggunakan teknologi yang jauh lebih canggih: perasaan. Rasa takut memberi sinyal bahaya. Rasa penasaran menuntun pada penemuan. Rasa nyaman menandakan keamanan.

Sistem operasi ini masih terpasang kuat di dalam diri kita. Perasaan gelisah sebelum rapat penting, rasa hangat saat bersama sahabat, atau antusiasme yang meletup saat mengerjakan hobi—itu semua adalah data. Data mentah dari alam bawah sadar yang memberi tahu kita apa yang selaras dengan diri kita dan apa yang tidak. Mengabaikannya sama seperti mematikan GPS di wilayah yang tidak dikenal.


  1. Tanpa Rasa, Pengetahuan Hanyalah Data Mati


Anda bisa membaca puluhan buku tentang kebahagiaan, tetapi Anda tidak akan bahagia sampai Anda merasakan kegembiraan dalam momen-momen kecil. Anda tahu secara logis bahwa berolahraga itu baik, tetapi motivasi untuk bergerak datang dari rasa ingin lebih sehat dan energik.

Inilah kuncinya: Perasaan mengubah informasi menjadi kebijaksanaan dan motivasi. Tanpanya, semua pengetahuan di dunia hanyalah kumpulan fakta yang steril dan tidak berdaya. Keputusan terbaik dalam hidup tidak hanya "masuk akal" secara logika, tetapi juga "terasa benar" di dalam hati.


  1. Jembatan Bernama Empati: Perasaan adalah Perekat Hubungan Manusia


Coba ingat kembali momen paling bermakna dengan orang yang Anda cintai. Kemungkinan besar, itu bukanlah saat Anda bertukar argumen logis, melainkan saat Anda berbagi perasaan—tawa yang tak tertahankan, tangis haru, atau sekadar keheningan yang nyaman.

Kita terhubung sebagai manusia bukan melalui pikiran, tetapi melalui hati. Perasaan adalah jembatan empati yang memungkinkan kita untuk "ikut merasakan" apa yang dialami orang lain. Tanpa jembatan ini, kita hanyalah pulau-pulau terpencil yang hidup berdampingan, bukan sebuah komunitas yang saling terhubung.


  1. Bahan Bakar Makna: Dari Mana Datangnya Gairah dan Kreativitas?


Apa yang membuat seorang musisi rela begadang semalaman untuk sebuah melodi? Apa yang mendorong seorang aktivis sosial untuk terus berjuang meski lelah? Jawabannya bukan logika. Jawabannya adalah gairah, cinta, kemarahan, harapan—semua spektrum perasaan manusia.

Perasaan adalah bahan bakar bagi kreativitas dan makna hidup. Ia adalah percikan api yang menyalakan semangat kita. Logika mungkin membantu kita menyusun rencana untuk mencapai tujuan, tetapi perasaanlah yang memberi kita alasan untuk memiliki tujuan itu sejak awal.


  1. Bahaya Topeng "Aku Baik-Baik Saja": Apa yang Terjadi Saat Perasaan Ditekan?


Di masyarakat kita, menekan perasaan sering dianggap sebagai tanda kekuatan. Namun, perasaan yang ditekan tidak pernah benar-benar hilang. Bayangkan Anda mencoba menahan bola pantai di bawah air. Anda butuh energi konstan untuk menahannya, dan cepat atau lambat, ia akan melesat ke permukaan dengan kekuatan yang mengejutkan.

Begitulah cara kerja emosi yang tertekan. Ia bisa muncul sebagai ledakan amarah yang tak terkendali, kecemasan yang menggerogoti, atau bahkan keluhan fisik yang tak dapat dijelaskan. Mengizinkan diri kita untuk merasa—bahkan perasaan yang tidak nyaman sekalipun—adalah tindakan merawat diri yang paling mendasar. Itu adalah cara kita memproses dan melepaskan beban, alih-alih menyimpannya di dalam.


Jalan Pulang Menuju Diri Sendiri


Pada akhirnya, merasa bukanlah lawan dari berpikir; ia adalah mitra sejatinya. Menjadi manusia seutuhnya berarti mampu menari di antara keduanya—menggunakan logika sebagai peta dan perasaan sebagai kompas.

Jadi, hari ini, cobalah berhenti sejenak di tengah kesibukan Anda. Tarik napas dalam-dalam. Lalu, tanyakan pada diri Anda satu pertanyaan sederhana:

"Apa yang sedang aku rasakan saat ini?"

Dengarkan jawabannya tanpa menghakimi. Karena di dalam jawaban itu, Anda tidak hanya akan menemukan kebenaran, tetapi juga jalan pulang menuju diri Anda yang paling otentik.

 
 
 

Komentar


bottom of page